Para
pakar memiliki beragama pengertian tentang agama. Secara etimologi, kata
“agama” bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan diambil dari istilah bahasa
Sansekerta yang menunjuk pada sistem kepercayaan dalam Hinduisme dan Budhisme
di India. Agama terdiri dari kata “a” yang berarti “tidak”, dan “gama” berarti
kacau. Dengan demikian, agama adalah sejenis peraturan yang menghindarkan
manusia dari kekacauan, serta mengantarkan menusia menuju keteraturan dan
ketertiban.
Ada pula yang menyatakan bahwa agama terangkai dari dua kata, yaitu
a yang berarti “tidak”, dan gam yang berarti “pergi”, tetap di
tempat, kekal-eternal, terwariskan secara turun temurun. Pemaknaan seperti itu
memang tidak salah karena dala agama terkandung nilai-nilai universal yang
abadi, tetap, dan berlaku sepanjang masa. Sementara akhiran a hanya
memberi sifat tentang kekekalan dankarena itu merupakan bentuk keadaan yang
kekal.
Ada
juga yang menyatakan bahwa agama terdiri
dari tiga suku kata, yaitu: a-ga-ma. A berarti awang-awang , kosong atau
hampa. Ga berarti tempat yang dalam bahasa Bali disebut genah. Sementara ma berarti matahari, terang
atau sinar. Dari situ lalu diambil satu pengertian bahwa agama adalah pelajaran
yang menguraikan teta cara yang semuanya penuh misteri kareana Tuhan dianggap
bersifat rahasia.
Kata
tersebut juga kerap berawalan i dan atau u, dengan demikian masing-masing berbunyi igama
dan ugama. Sebagian ahli
menyatakan bahwa agama-igama-ugama adalah koda kata yang telah lama
dipraktikkan masyarakat Bali. Orang Bali memaknai agama sebagai peraturan, tata cara, upacara hubungan
manusia denga raja. Sedangkan igama adalah tata cara yang mengatur
hubungan manusia denga dewa-dewa. Sementara ugama dipahami sebagai tata
cara yang mengatur hubungan antamanusia.
Dalam
bahasa Belanda, Jerman, dan Inggris, ada kata yang mirip sekaligus memilliki
kesamaan makna dengan kata “gam”. Yaitu ga atau gaa dalam
bahasa Belanda; gein dalam bahasa Jerman, dan go dalam bahasa
Inggris. Kesemuanya memiliki makna yang sama atau mirip, yaiut pegi. Setelah
mendapatkan awalan dan akhiran a, ia mengalami perubahan makna. Dari
bermakna pergi berubah menjadi
jalan. Kemiripan seperti ini mudah dimaklumi karena bahasa Sansekerta, Belanda,
Jerman, dan Inggris, kesemuanya termasuk rumpun bahasa Indo-Jerman.
Selain
itu, dikenal pula istilah religion bahasa Inggris, religio atau religi
dalam bahasa Latin, al-din
dalam bahasa Arab, dan dien dalam bahasa Semit. Kata-kata itu ditengarai
memiliki kemiripan makna dengan kata “agama” yang berasal dari bahasa
Sansekerta itu. Religious (Inggris) berarti kesalehan, ketakwaan, atau
sesuatu yang sangat mendalam dan berlebih-lebihan. Yang lain menyatakan bahwa religion
adalah: (1) keyakinan pada Tuhan atau kekuatan supramanusia untuk disembah
sebagai pencipta dean penguasa alam semesta; (2) sistem kepercayaan dan
peribadatan tertentu.
Menurut
Olaf Scuhman, baik religion maupun religio, keduanya berasala
dari akar kata yang sama, yaitu religare yang
berarti “mengikat kembal”, atau dari kata relegere yang berarti
“menjauhkan, menolak, melalui”. Arti yang kedua, relegere dipegang oleh
pujangga ada filosof Romawi Cicero dan Teolog Protestan Karl Barth, dan sebab
itu mereka melihat religio sebagai usaha manusia yang hendak memaksa
Tuhan untuk memberikan sesuatu, lalu manusia menjauhkan diri lagi.
Sedangkan
arti yang pertama, religare, dipegang oleh gereja Latin (Roma Katolik).
Erasmus dari Rotterdam (1469-1539) menyatakan bahwa paham ini dikaitkan dengan
sikap manusia yang benar terhadap Tuhan. Benar pula, karena ajara-ajaran agama
memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia yang mempercayainya. Agama (religio)
dalam arti religare juga berfungsi untuk merekatkan pelbagai unsur dalam
memelihara keutuhan diri manusia, diri orang per orang atau diri sekelompok
orang dalam hubungannya terhadap Tuhan, terhadap sesama manusia, dan terhadap
alam sekitarnya.
Sementara
Sayyed Hossein Nasr mengatakan “religare” yang berarti “mengikat”
merupakan lawan dari “membebaskan”. Ajaran Sepuluh Perintah (Ten Commandments)
ya ng membentuk fondasi moralitas Yahudi dan Kristen terdiri dari sejumlah
pernyataan “janganlah kamu”, yang menunjukkan suatu pembatasan dan bukan
pembebasan .
Agama
juga disebut dengan istilah din. Dalam bahasa Semit, din berarti undang-undang atau hokum. Dalam bahasa
Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan,
kebiasaan.
Bila
lafal din disebutkan dalam rangkaian din-ullah, maka dipandang
datangnya agama itu dari Allh, bila disebut dinunnabi dipandang nabilah
yang melahirkan dan menyiarkan, bila disebut dinul-ummah, karena
dipandang manusialah yang diwajibkan memeluk dan menjalankan. Ad-din bisa
juga berarti syari’ah: yaitu nama bagi peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang
telah disyari’atkan oleh Allah selengkapnya atau prinsip-prinsipnya saja, dan
dibedakan kepada kaum muslimin untuk melaksanakannya, dalam mengikat hubungan
mereka dengan Allah dan dengan manusia. Ad-din berarti millah,
yaitu mengikat.
Maksud
agama ialah untuk mempersatukan segala pemeluk-pemeluknya, dan mengikat mereka
dalam suatu ikatan yang erat sehingga merupakan batu pembangunan, atau
mengingat bahwa, hokum-hukum agama itu dibukukan atau didewankan. Ad-din
berarti nasihat, seperti dalam hadis dari Tamim ad-Dari r.a. bahwa Nabi SAW
bersabda: Ad-dinu nasihah. Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, bagi
siapa?” Beliau menjelaskan: “Bagi Allah dan kitab-Nya, bagi Rasul-Nya dan bagi
para pemimpin muslimin dan bagi seluruh muslimin.” (HR. Muslim, Abu Dawud,
Nasa’i dan Ahmad).
Hadis
tersebut memberikan pengertian bahwa ada lima unsur yang perlu mendapat perhatian bisa memperoleh gambaran
tentang apa yang dimaksud dengan agam yang jelas serta utuh. Kelima unsure itu
adalah: Allah, kitab, rasul, pemimpin dan umat, baik mengenai arti
masing-masing maupun kedudukan serta hubungannya satu denagn lainnya.
Pengertian
tersebut telah mencakup dalam makna nasihat. Imam Ragib dalam kita Al-Mufradaat
fii Ghariibil Qur’an, dan Imam Nawawi dalam Syarh Arba’in
menerangkan bahwa nasihat itu maknanya sama dengan menjahit (al-khayyaatu
an-nasihuu) yaitu menempatkan serta menghubungkan bagian (unsur) yang satu
dengan yang lainnya, sesuai dengan kedudukan masing-masing.
Mukti
Ali mengatakan, agama adalah percaya pada adanya Tuhan Yang Maha Esa dan hukum-hukum
yang diwahyukan kepada utusanNya bagi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan
akhirat. Mukti Ali membatasi pengertian agama pada kepercayaan dan hokum. Mehdi
Ha’iri Yazdi berpendapat, agama adalah kepercayaan kepada Yang Mulak atau
Kehendak Mutklak sebegai kepedulian tertinggi. Pengertian inimenjadikan Tuhan
sebagai focus perhatian dan kepedulian tertinggi agama sehingga agama cenderung
mengabaikan persoalan kemanusiaan. Agama akhirnya bersifat teosentris, tanpa
perhatian yang cukup terhadap soal-soal kemiskinan dan keterbelakangan umat.
Harun
Nasution mengemukakan pelbagai pengertian tentang agama yang dikemukakan
sejumlah ahli, yaitu: (1) pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan
kekuatan gaib yang harus dipatuhi; (2) pengakuan terhadap adanya hubungan
manusia dengan kekuatan gaib yang menguasai manusia; (3) mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung
pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar manusia dan yang mempengaruhi
perbuatan-perbuatan manusia; (4) kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang
menimbulkan cara hidup tertentu; (5) suatu sistem tingkah laku (code of
conduct) yang berasal dari suatu kekuatan gaib; (6) pengakuan terhadap
adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada kekuatan gaib; (7)
pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari \perasaan takut terhadap
kekuatan misterius yang terdapat di alam sekitar manusia; (8) ajaran-ajaran yang
diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.
B. Fungsi Dan Tujuan
Agama
Menurut
Abuddin Nata sekurang-kurangnya hanya ada tiga alasan perlunya manusia
terhadapa agama, yakni: Pertama, latar belakang fitah manusia. Kenyataan
bahwa manusia memiliki fitrah keagamaan tersebut buta pertama kali ditegaskan
dalam ajaran Islam, yakni bahwa agama adalah kebutuhan manusia.
Kedua,
alasan lain mengapa
manusia perlu beragama menurut Abuddin
Nata adalah kelemahan dan kekurangan
manusia. Alasan inipun kelihatannya bisa diterima, di samping karena
keterbatasan akal manusia untuk menentukan hal-hal yang di luar kekuatan
pikiran manusia itu sendiri, juga karena manusia sendiri merupakan makhluk dha’if
(lemah) yang sangat memerlukan agama.
Ketiga,
adanya tantangan manusia.
Manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik dari
dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam berupa dorongan hawa nafsu dan
bisikan syetan, sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan
upaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupaya memalingkan
manusia dari Tuhan.
C. Dimensi (Unsur-Unsur)
Agama
Demikian
kompleksnya pendefinisian agama. Definisi yang dikemukakan para ahli itu pun
tidak selalu komprehensif. Sebagian tampak parsial karena hanya menyangkut
sebagian dari realitas agama. Definisi adalah suatu batasan, sementara agama
tak bisa dibatasi. Namun, untuk memudahkan, perlu dikemukakan unsur-unsur pokok
yang lazim menyangga suatu agama. Harun Nasution menyimpulkan, agama memiliki
unsur-unsur sebagai berikut:
Pertama, kekuatan gaib. Manusia merasa dirinya
lemah dan berhajat pada keuatan gaib itu sebagai tempat minta tolong. Oleh
karena itu, manusia merasa harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib
tersebut. Hubungan baik ini dapat diwujudkan dengan mematuhi perintah dan
laranagan keuatan gaib itu. Mengacu pada unsur yang pertama, dapat dikatakan
bahwa agama sesungguhnya berporos pada kekuatan-kekuatan non-empiris atau supra
empiris.
Kedua,
keyakinan bahwa
kesejahteraan di dunia ini dan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya
hubungan baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Dengan hilangnya hubungan
baik itu, kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari akan hilang pula.
Ketiga,
respons manusia yang
bersifat emosional. Respons itu bisa mengambil bentuk perasaan takut seperti
pada agama-agama primitive atau perasaan cinta seperti agama-agama monoteisme.
Selanjutnya, respons mengambil bentuk penyembahan yang terdapat dalam
agama-agama primitf, atau pemujaan yang terdapat dalam agama-agama monoteisme.
Lebih lanjut lagi, respons itu mengambil bentuk cara hidup tertentu bagi
masyarakat yang bersangkutan.
Keempat,
paham adanya yang kudus
dan suci dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab yang mengandung
ajaran-ajaran agama bersangkutan, dan dalam bentuk tempat-tempat tertentu.
Dari
segi psikologi, L. B. Brown mengatakan dalam bukunya Psychology and Religion
memberikan lima variabel agama, yang meliputi:
Pertama, tingkah laku (behaviour) atau
praktek-praktek yang menggambrakan keadaan agama, dikembangkan biasanya melalui
kerap tidaknya pergi ke gereja, membaca injil dan sebagainya.
Kedua, renungan suci dan iman (belief),
iman biasanya dihubungkan dengan kerangka kepercayaan yang umum dan yang khusus
tertentu.
Ketiga, perasaan keagamaan atau pengalaman (experience)
dan kesadaran tentang sesuatu yang transeden yang dapat memberikan dasar yang
kokoh bagi kehidupan keagamaan.
Keempat, keterikatan (involvement) dengan
suatu jama’ah yang menyatakan diri sebagai institusi nilai, sikap atau
kepercayaan.
Dan
yang kelima, consequential effects dari pandangan-pandangan
keagamaan dalam tingkah laku yang non-agama dan dalam tingkah laku moral.
0 komentar:
Posting Komentar